
Masjid itu masih berdiri dengan ornamen khas bangunan Jawa lama. Letaknya agak jauh dari pusat kota Ponorogo sekitar 10 Kilometer ke arah selatan. Lebih tepatnya terletak di Dusun Gendol, Desa Tegalsari, Kecamatan Jetis, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur.
Sekilas, Masjid Tegalsari memiliki wajah seperti Masjid Demak dengan atap bersusun tiga. Tetapi usianya lebih muda ketimbang masjid peninggalan Raden Patah dan Walisongo itu. Jika Masjid Demak dibangun pada tahun 1.466 Masehi, Masjid Tegalsari dibangun pada tahun 1.724 Masehi.
Pendirian masjid ini diprakarsai oleh Kyai Ageng Muhammad Bashari. Kata ‘Bashari’ dalam nama tersebut lebih dikenal dengan Besari. Ia merupakan ulama yang menyebarkan Islam pertama kali di Bumi Reog tersebut. Dari segi bangunan, masjid ini berdiri dengan ditopang beberapa tiang penyangga terbuat dari kayu Jati. Antara satu tiang dengan tiang lainnya terhubung dengan kayu, tanpa paku.
Di bagian luar, terdapat teras dengan beberapa anak tangga. Meski ada sedikit perubahan, di sisi muka masjid masih terdapat batu pijak peninggalan kebudayaan Majapahit. Hal ini dimaksudkan sebagai penanda perubahan kepercayaan dari animisme ke Islam.
Pesantren Gebang Tinatar atau biasa dikenal dengan sebutan pesantren Tegalsari, karena letaknya yang berada di desa Tegalsari Ponorogo. Seorang peneliti Belanda Martin Van Bruynesen menyebut pesantren ini merupakan cikal bakal seluruh pesantren yang ada di Indonesia, Bahkan kyai haji Abdurrahman Wahid alias Gus Dur juga mengucapkan hal yang senada, pasalnya sebelum adanya pesantren Tegalsari belum ditemukan satu buktipun yang menunjukkan adanya sitem pesantren di Indonesia.
Sejarah Tegalsari
Pada Tahun 1669 Kyai Ageng Muhammad Besari mbabat alas di wilayah timur sungai Jetis, tahun itu mendirikan sebuah masjid pertama di desa Coper, Jetis, Ponorogo. Lambat laun masjid itu berkembang menjadi pesantren yang memiliki banyak santri maka pada tahun 1680 resmi didirikan pesantren Gebang Tinatar, karena semakin banyaknya jumlah para santri akhirnya pada tahum tahun 1724 Kyai Ageng Muhammad Besari mendirikan masjid ke-2 hingga saat ini menjadi jujukan wisata religi.
Pesantren ini menjadi tempat penggemblengan para pejuang kemerdekaan, baik dari kalangan Islam ataupun Nasionalisme pada masa depan. Lalu pada tahun 1747 Kyai Ageng Muhammad Besari meninggal dunia, kepemimpinan pondok diteruskan ke putra dan cucu nya. Hingga pada masa kepemimpinan Kyai Hasan Besari, pesantren Tegalsari mengalami masa keemasanya, tercatat 3000an santri menimba ilmu di pesantren ini.
Kyai Hasan Ilyas tahun 1773-1800
Kyai Hasan Yahya tahun 1800
Kyai Hasan Besari & Kyai Hasan Anom Besari tahun 1800-1862
Mungkin, bagi sebagian kalangan masjid ini hanya dilihat sebagai tempat ibadah biasa. Tetapi, masjid ini ternyata merupakan saksi bisu beberapa tokoh Nusantara menimba ilmu agama. Beberapa tokoh itu antara lain Raja Surakarta Sunan Pakubuwono II, Pujangga Keraton Raden Ngabehi Ronggowarsito, hingga tokoh pergerakan Hadji Oemar Said (HOS) Cokroaminoto.
Masjid Tegalsari memang cukup terkenal sebagai tempat menimba ilmu agama. Dari masjid ini pula, sebuah pesantren yang terkenal di Indonesia, Gontor, berdiri. Para pendirinya merupakan keturunan dari Kyai Ageng Muhammad Besari. Sayangnya, saat ini aktivitas mengaji di masjid ini tidak seramai kala dulu. Masjid bersejarah ini saat ini hanya dikelola oleh ratusan santri, yang pada masa jayanya masjid ini menjadi pusat aktivitas keagamaan masyarakat Ponorogo.
Abad ke-18, tepatnya pada 30 Juni 1742 saat Pondok Gebang Tinatar atau Tegalsari diasuh oleh Kyai Hasan Besari, terjadi huru-hara di Kerajaan Kartasura yang dipimpin RM Garendi Susuhan Kuning dan didukung oleh pasukan Tionghoa. Pemberontakan ini berdampak pada keamanan keluarga kerajaan. Akhirnya Sunan Kumbul (Pakubuwono II) meninggalkan istana berjalan tanpa tujuan pasti.
Di tengah perjalanan itu, Sunan Kumbul mendengar suara kumandang dari arah timur. Pujian-pujian shalawat mendayu-dayu dari sebuah masjid. Sunan Kumbul pun berjalan ke arah suara pujian itu. Akhirnya ia sampai di gerbang Pondok Tegalsari dan menyerahkan diri kepada sang Kyai.
Setelah merasa cukup dan siap pulang ke kerajaan, Sunan Kumbul disambut oleh rakyatnya. Sejak itulah desa Tegalsari menjadi desa bebas bayar pajak. Tegalsari juga menjadi desa yang diistimewakan karena keberadaan pesantren. Nama Pondok Tegalsari kian dikenal ke penjuru nusantara dan banyak santri yang belajar di sana. Salah satu tokoh yang pernah belajar di Tegalsari adalah Ronggowarsito, HOS Cokroaminoto dan lain sebagainya.
Saksi Bisu Lahirnya Tokoh Nusantara
Masjid dengan arsitektur jawa ini memliki 36 tiang, yang mengandung arti jumlah wali / wali songo (3+6=9) yang menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa dan atap berbentuk kerucut yang mengambarkan Keagungan Allah Swt. Serta didalam masjid ini pula tersimpan kitab yang berumur 400 tahun yang ditulis oleh Pujangga Keraton Raden Ngabehi Ronggowarsito.
Pada awalnya ukuran masjid itu masih relatif kecil. Bangunan masjid diperluas lagi oleh cucu Kyai Ageng Hasan Besari, yaitu Kyai Kasan Besari agar menampung jumlah jamaah yang lebih banyak. Kyai inilah yang berhasil mengislamkan masyarakat Ponorogo sampai lereng Gunung Lawu.
Masjid Tegalsari telah memanggil anak bangsa untuk belajar di Tegalsari. Dari sinilah lahir para tokoh yang namanya tercatat indah di buku sejarah bangsa ini. Ronggowarsito seorang pujangga Jawa yang mashur, dan HOS Cokroaminoto seorang tokoh pergerakan nasional. Dua nama ini menjadi bukti bahwa keberadaan Masjid Tegalsari pernah menjadi bagian penting sejarah pendidikan di negeri ini.
Sepeninggal Kyai Ageng Hasan Besari, kejayaan Pondok Tegalsari tinggal kenangan, tak ada peninggalan bekas bangunan, yang tersisa hanya satu pondokan kyai Ageng Muhammad Besari, masjid Tegalsari, serta makam kyai Ageng Muhammad Besari. Jumlah santrinya kian menyusut. Walaupun demikian , banyak para santri dan anak cucunya yang mengembangkan agama Islam dengan mendirikan Pondok Pesantren di berbagai daerah di seluruh Nusantara. Salah satu yang terbesar adalah Pondok Modern Darussalam Gontor yang terletak di wilayah kecamatan Mlarak. Pondok ini didirikan oleh tiga orang cucu Kyai Ageng Hasan Besari.